Benarkah Buah Jatuh Tidak Jauh dari Pohonnya?
![]() |
Zen Chung on Pexels |
Cangkeman.net - Peribahasa "Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya" telah mengalami banyak pro dan kontra. Menurut Ibu Ista Maharsi,SS.M.Hum dalam essainya yang berjudul "Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya, Benarkah?" terbitan 12 Juli 2019 di laman fpscs.uii.ac.id, peribahasa itu dipakai untuk mengacu pada adanya kemiripan sikap, perilaku, dan pola pikir antara orang tua dengan anak-anak mereka. Lalu, bagaimana menurut penulis? Akankah ia membelokkan pada tikungan yang tajam?
Pada dasarnya saya sangat setuju bilamana peribahasa ini diperdebatkan. Meski bahasan ini tidaklah muluk-muluk dalam hal kerumitan tapi bolehlah jika bahasan yang terbilang ringan ini diperbincangkan. Dan berbeda dari essai Ibu Ista Maharsi,SS.M.Hum yang membahas peribahasa Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya, menurut sudut pandang yang condong disajikan kepada orang tua karena perlakuan orang tua terhadap anak akan mirip dengan perlakuan kepada orang tua -bila si anak diberi peringatan akan suatu hal dengan nada tinggi maka akan direspon oleh si anak dengan nada tinggi pula, begitu pula sebaliknya- bahasan dari saya akan mendominasi pada sudut pandang anak terhadap orang tuanya yang akan mempengaruhi pemikiran pada masa depannya.
Dalam hal ini yang dimaksudkan anak bukanlah anak balita melainkan anak-anak yang sudah mulai mengenal akan mimpi yang tidak dipilih secara asal. Anak yang sudah menimang-nimang apakah yang akan ia perjuangkan. Dengan begitu jika ketika pepatah ini keluar (dinyatakan) di hadapan anak-anak itu yang mana kemiripan bersikap bertingkah laku biasanya sangat mempengaruhi akan skill yang diturunkan sehingga juga mempengaruhi kesuksesan dalam meraih cita-citanya,lalu si anak mungkin bertanya kepada dirinya sendiri, akankah dirinya akan hidup seperti ayah dan ibunya?
Soal menggantungkan nasib kepada apa yang terjadi pada orang tua tentu hal yang senang-senang susah untuk si anak. Bila saja nasib orang tua yang dilihatnya memiliki kesamaan dengan yang si anak impikan, tentu akan mudah-mudah saja ia mendapatkan sinyal positif dan optimis dapat mencapai apa yang orang tuanya dapat capai. Contoh soal tingkah laku, dalam Islam digambarkan dalam bentuk nyata kisah-kisah para ulama yang lahir dari orang tua yang ahli ibadah, tirakat, dzikir maka anak cucunya banyak menjadi kiyai-kiyai besar, menjadi orang-orang yang ahli ibadah pula. Dalam lingkup lain ada pernyataan bila orang yang kaya akan semakin kaya, orang yang miskin akan semakin miskin karena berpengaruh pada pola pikir anak yang melihat orang tuanya bekerja menghasilan uang itu mudah bagi si anak kaya, bagi si miskin susah. Sehingga mempengaruhi performanya dalam mencapai sesuatu. Lalu bagaimana si miskin, si anak yang tidak mendapatkan motivasi pencapaian dari orang tuanya? Atau bahkan melihat hantu kenyataan sejarah orang tuanya? Padahal benar saja, kalau mau sedikit logis semua bisa dipelajari lewat berbagai jalan,kursus online/offline atau setidaknya lewat Handphone yang minimal membutuhkan kouta internet. Ingat kalimat "Jer Basuki Mawa Bea?" Ya, tiada yang gratis. Dan dengan ini, bagi si miskin ungkapan ini ingin rasanya ditolak mentah-mentah. Kalau mau debat, "Bukankah buah bisa jatuh menggelinding jauh dari pohonnya?"
"Tapi bukankah menggelinding pasti ke bawah? Lalu mungkinkah nasibmu juga akan ikut merosot ke bawah?"
"Bukankah tidak semua yang di bawah berupa dasar jurang?" Di bawah ada hamparan taman berbunga, ada laut yang indah, bahkan ada kota yang tak nyaman untuk tinggal tapi tepat untuk mencari bekal. Bekal untuk menjadi individu yang lebih baik dari generasi sebelumnya.
Mengambil sisi baik dari pepatah ini bagi seorang pemuda yang memiliki pencerminan dari orang tua, kakek, neneknya, sekaligus bakal menjadi pencerminan untuk anak-cucunya kelak, idealnya ungkapan ini juga dilihat dari sisi keduanya. Melihat dari sisi pertama, maka ambil nilai baik yang ada pada orang tua, kakek, dan neneknya. Jika saja mereka telah mencapai sesuatu yang layak kita tiru maka yakini saja untuk dapat ikut mencapainya pula. Jika toh tidak,seburuk-buruk manusia pasti ada manfaatnya. Minimal jadi contoh buruk agar tidak melakukan hal yang sama dengannya, begitu kata Mas Sabrang yang cukup menyentil otakku yang tadinya sempat sedikit oleng yang rupanya sekarang juga masih enggan untuk jejeg pada tempatnya. Dan jika sudah begitu maka perlu dilihat dari sisi kedua yaitu sebagai pemuda yang akan menjadi pencerminan anak cucu, dengan menjadi generasi pertama membuat perubahan yang lebih baik, memaksimalkan potensi untuk kebermanfaatan dengan segala fasilitas yang belum tentu ada pada zaman orang tua terdahulu.
Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya seharusnya menjadi pegangan hidup agar kita waspada pada apa yang sedang kita lakukan sekarang. Wajarnya kita mengimani ini agar tak berbuat ngawur sehingga anak turun kita yang tidak berdosa itu, tidak merasakan hal buruk dari perbuatan kita sekarang.
Ada sebuah kisah, seorang istri yang tidak menghormati dan berlaku sembarangan pada suaminya. Setelah sekian lama suaminya meninggal, sedangkan si istri masih hidup dan tidak dihormati pula oleh menantunya di usia tuanya. Tentu mungkin saja perlakuan menantu yang tidak hormat ini adalah balasan atas perbuatan si istri yang durhaka pada suaminya. Maka dari itu, melihat sangkut pautnya, tidak mustahil jika suatu saat menantunya itu juga akan mendapatkan balasan dari anak turun-sanak saudaranya. Dan akan begitu terus. Si cucunya misalkan, akan mendapatkan balasan dari cucunya lagi. Sedangkan sebenarnya si cucu yang tidak berdosa itu tidak ingin menjadi orang yang durhaka, namun secara mau tidak mau mendapatkan warisan sifat tak terpuji dari kakek-neneknya yang akhirnya juga mendapatkan balasan buruk atas warisan sifat tercela tersebut. Dari kisah ini kita belajar, Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya bukanlah kita yang menagih atau nggersula (mengeluh) atas warisan tak benda terutama sejarah yang tidak diinginkan (kejadian buruk) dari para orang tua-leluhur, melainkan kitalah yang seharusnya menjadi pewaris hal-hal baik kepada anak cucu kita.

Posting Komentar