Kisah Klasik yang Mencekik
![]() |
Klik Times |
Penulis: Susi Retno Utami
Editor: Fatio Nurul Efendi
Cangkeman.net - Aku seorang gadis. Bisa jadi remaja, yang dapat dibilang hampir dewasa. Sama dengan kebanyakan remaja perempuan, aku tak luput dari yang namanya kisah percintaan. Tak perlu berpikir yang kejauhan. Kisah asmaraku tidak se-urgent itu untuk didengarkan. Apalagi disebarluaskan. Hahaha. Ini hanya keisengan, yang semoga bisa menjadi penghibur kepenatan.
Ok, balik lagi. Jadi, kisah cintaku ya biasa-biasa saja, makanya jangan mikir yang jauh-jauh kalau bahas soal cinta sama aku. Mula-mula aku mau bilang, sekitar enam tahun yang lalu aku jatuh hati kepada salah seorang teman lelakiku. Kami tidak terlalu dekat, ya sekadar teman yang bahkan belum lama saling kenal.
Kalau ditanya kenapa aku bisa jatuh hati kepadanya, selain karena kehendak Tuhan, aku meyakini bahwa jawabannya adalah karena pada saat itu aku larut dalam keadaan yang memelukku dalam rasa nyaman. Iya, aku nyaman berada di dekatnya. Setiap obrolan dan kebersamaan yang kulalui dengannya selalu ingin kuulangi, lagi dan lagi.
Banyak yang bilang, kalau cinta itu tidak perlu alasan. Tapi bagiku, setiap rasa cinta yang tumbuh pasti didasari oleh suatu sebab musabab. Sekalipun aku memang tak bisa menjelaskan secara mendetail beragam hal yang mampu membuatku mencintainya, namun aku percaya jika akan ada suatu pelajaran dari rasa cinta yang tengah kurasakan.
Cangkeman.net - Aku seorang gadis. Bisa jadi remaja, yang dapat dibilang hampir dewasa. Sama dengan kebanyakan remaja perempuan, aku tak luput dari yang namanya kisah percintaan. Tak perlu berpikir yang kejauhan. Kisah asmaraku tidak se-urgent itu untuk didengarkan. Apalagi disebarluaskan. Hahaha. Ini hanya keisengan, yang semoga bisa menjadi penghibur kepenatan.
Ok, balik lagi. Jadi, kisah cintaku ya biasa-biasa saja, makanya jangan mikir yang jauh-jauh kalau bahas soal cinta sama aku. Mula-mula aku mau bilang, sekitar enam tahun yang lalu aku jatuh hati kepada salah seorang teman lelakiku. Kami tidak terlalu dekat, ya sekadar teman yang bahkan belum lama saling kenal.
Kalau ditanya kenapa aku bisa jatuh hati kepadanya, selain karena kehendak Tuhan, aku meyakini bahwa jawabannya adalah karena pada saat itu aku larut dalam keadaan yang memelukku dalam rasa nyaman. Iya, aku nyaman berada di dekatnya. Setiap obrolan dan kebersamaan yang kulalui dengannya selalu ingin kuulangi, lagi dan lagi.
Banyak yang bilang, kalau cinta itu tidak perlu alasan. Tapi bagiku, setiap rasa cinta yang tumbuh pasti didasari oleh suatu sebab musabab. Sekalipun aku memang tak bisa menjelaskan secara mendetail beragam hal yang mampu membuatku mencintainya, namun aku percaya jika akan ada suatu pelajaran dari rasa cinta yang tengah kurasakan.
Itulah alasannya, bisa jadi aku dibuat jatuh hati agar akau bisa mengambil sebuah pelajaran. Entah cintaku bersemi atau justru menepi tanpa dilirik sama sekali, pastilah akan ada hal yang setidaknya membuatku belajar.
Sebelum benar menuju pada hal apa yang bisa kupelajari. Aku mau bilang dulu, kalau cintaku enam tahun yang lalu tidak seluruhnya manis untuk dikenang. Yah, tepatnya memang tidak ada yang manis, alias masam. Apa itu karena dia menyakitiku? Atau karena aku menyakiti dia?
Hmm, tidak begitu. Bahkan untuk kadar menyakiti, seharusnya di antara aku dan dia tidaklah pantas untuk disebut demikian. Yang kubicarakan ini adalah sakit menyakiti dalam lingkup percintaan, but we are'nt a couple.
Aku memang menyukainya sedari lama. Tapi dia? Sepertinya tidak. Tepatnya dia justru menyukai gadis lain yang tidak lain dan tidak bukan adalah temanku. Huh, is this a love triangle? Aku tidak tahu pasti. Yang kutahu dengan jelas adalah dia selalu menghubungi aku saat dia dilanda pilu. Tapi dia selalu mengubungi temanku saat dia dilanda kesenangan. Pesan sok asik yang kulempar, sering kali dijawabnya dengan keheningan. Sedangkan pesan ketus dari temanku justru kulirik ia balas dengan puing-puing permohonan.
Aish. Menyebalkan sekali.
Sebelum benar menuju pada hal apa yang bisa kupelajari. Aku mau bilang dulu, kalau cintaku enam tahun yang lalu tidak seluruhnya manis untuk dikenang. Yah, tepatnya memang tidak ada yang manis, alias masam. Apa itu karena dia menyakitiku? Atau karena aku menyakiti dia?
Hmm, tidak begitu. Bahkan untuk kadar menyakiti, seharusnya di antara aku dan dia tidaklah pantas untuk disebut demikian. Yang kubicarakan ini adalah sakit menyakiti dalam lingkup percintaan, but we are'nt a couple.
Aku memang menyukainya sedari lama. Tapi dia? Sepertinya tidak. Tepatnya dia justru menyukai gadis lain yang tidak lain dan tidak bukan adalah temanku. Huh, is this a love triangle? Aku tidak tahu pasti. Yang kutahu dengan jelas adalah dia selalu menghubungi aku saat dia dilanda pilu. Tapi dia selalu mengubungi temanku saat dia dilanda kesenangan. Pesan sok asik yang kulempar, sering kali dijawabnya dengan keheningan. Sedangkan pesan ketus dari temanku justru kulirik ia balas dengan puing-puing permohonan.
Aish. Menyebalkan sekali.
Wajarkan jika aku kemudian menangis atas kondisi yang seperti ini? Apa aku terlampaui berlebihan? Apa aku harus biasa saja tanpa membesarkan rasa sakit yang telanjur menyiksa? Lantas sikap seperti apa yang baiknya kuambil untuk menghadapi ini semua?
Aku mencintai dia yang mencintai manusia lain. Ini klasik sekali bukan? Semacam kisah yang kerap aku temui pada sinema-sinema elektronik. Tapi masalahnya, ini bukan sekadar sinema yang kisahnya hanya pura-pura. Ini adalah realita. Dan aku tidak bisa untuk selalu pura-pura baik-baik saja, sementara jauh di dasar hati, aku merasa begitu tersiksa.
Mau seklasik apapun kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan ini, rasa sakitnya tetap membuatku merasa tercekik. Aku tak bisa menghindari pula, akan dada yang sesak kala mataku harus menyaksikan bagaimana kegirangannya saat bersua dengan temanku. Ingin sekali aku marah, tapi aku tidak tahu siapa yang harus kumarahi.
Dia tidak bersalah, temanku pun bukan tersangkanya. Mereka tidak tahu menahu soal perasaanku. Sekalipun mereka kuberi tahu, toh itu tak akan serta merta membuat dia jadi mencintai aku. Cinta tidak bisa dipaksakan. Itulah salah satu poin yang bisa kupelajari.
Bertahun-tahun mencintainya dalam diam, membuatku sadar jika sebesar apapun cinta yang telah kupupuk agar selalu subur, tak akan mampu menggoyahkan rasa cintanya yang telah tumbuh subur pula untuk temanku. Aku dan dia sejatinya sama, sama-sama mencintai dengan tulus. Namun cinta tulus di antara aku dengan dia tidak bertemu di titik yang sama.
Ya ya ya, cinta tidak bisa dipaksakan. Sehingga meskipun aku sangat susah untuk berlapang dada, aku tidak punya pilihan lain selain daripada menerima keadaan ini dengan seadanya. Sesakit apapun, toh aku bisa apa?
Hingga sampai enam tahun berlalu, rasa itu masihlah bermukim di hatiku. Tapi, aku tidak lagi semeninggi dulu dalam melayangkan harap untuk bisa bersatu dengan dia sebagai sepasang kekasih. Tidak sepenuhnya berada dalam mode menyerah, tapi aku cenderung sedang menuju fase belajar menjadi pribadi yang lebih baik.
Kupercayakan semuanya kepada Tuhan. Jika memang dia bukanlah orang yang akan menjadi jodohku, maka aku akan belajar untuk menjadi rela. Sebab pada hakikatnya, semuanya telah digariskan. Dan aku tidak bisa memaksa atau memerintah. Aku di sini manusia biasa. Biar Tuhan yang senantiasa berkehendak. Pun semoga, setiap langkahku akan berliput serta dengan rida-Nya.
Maka, kunyatakan pula jika aku tidaklah menyesal sebab mencintai orang yang tidak mencintai aku. Justru aku bersyukur, karena dengan itu, aku juga bisa belajar menjadi lebih peka. Bertahun-tahun, aku sibuk berupaya menjadi orang yang selalu ada untuk dia. Dan ketika patah melandaku, aku baru sadar, kalau ternyata, ada sosok lain yang selama ini juga selalu berusaha ada untukku. Yang sayangnya, aku baru menyadarinya belakangan.
Sekali lagi, aku memang belum sungguh-sungguh move on. Rasa sakit yang mencekik akibat kisah cinta yang amat klasik pun tidak akan bisa untuk kulupakan. Namun, aku telah banyak menemui pembelajaran. Jadi, meskipun sampai kini cintanya tak kumenangkan, setidaknya di tengah hati yang patah, aku berhasil menjumpai jalan menuju ketenangan.
Aku meyakini, kalau sudah jodoh tidak akan ke mana. Waktu dan tempat sudah tercatat, maka sekarang jalan saja. Kalau sudah tiba, maka akan bersua juga.

Posting Komentar