Khotbah Cangkem Elek: Perlukah Madhzab Baru di Era Sekarang?

Pixabay on Pexels

Penulis:        Fatio Nurul Efendi

Cangkeman.net - Saya memelihara anjing di rumah yang saya kontrak dan saya diami selama 6 bulan ke belakang ini. Sebagai seorang muslim Indonesia yang rata-rata ber-madhzab syafii, tentu banyak orang mengkerutkan dahi ketika mengetahui saya yang mereka kenal sebagai muslim, hidup satu rumah dengan anjing. Tentu pikir mereka akan sangat repot membersihkan najisnya yang harus dibasuh dengan air sebanyak 7 kali dan salah satunya dengan pasir.

Madhzab syafii memang cukup ketat dalam berbagai hukum fiqih termasuk terkait najis anjing ini. Sementara untuk madhzab Hanafi agak lebih longgar, karena hanya mengakui yang najis dari aniing adalah liur dan kotorannya. Sementara Madhzab Maliki malah menyebutkan anjing hewan yang suci dan dalil yang menyebutkan harus membasuh wadah ketika dijilat anjing harus dibersihkan 7 kali dan salah satunya dengan pasir itu hanya perintah kebersihan.

Itu baru status anjingnya sendiri. Cara pembersihan najis di kalangan ulama juga banyak berbeda pendapat. Ada yang emang harus menggunakan air selama 7 kali dan salah satunya dengan pasir, ada yang boleh diganti dengan sabun, ada pula yang boleh diganti dengan sabun dengan catatan tertentu.

Bagi orang yang belajar fiqih atau yang mengetahui bagaimana hukum-hukum Islam itu tercipta mungkin udah enggak kaget dengan banyaknya perbedaan-perbedaan yang ada. Ini kita baru membicarakan 4 madhzab yang ada di sunni yang saat ini mayoritas umat Islam Sunni mengimaninya.

Di Islam sunni sendiri sebenarnya ada banyak madhzab yang pernah ada atau ada juga yang sampai sekarang masih ada. Madhzab-madhzab itu ada Madhzab Hasan Basri, Madhzab Abu Hanifah, Al-Auzai, Sufyan At-Sauri, Ibnu Jarir Ath-Thabari, dll.

Itu baru sunni, kalau kita bicara Syiah yah banyak lagi.

Sejarahnya, madhzab-madhzab memang tercipta dari para ulama dan cendikiawan muslim pada era-era tertentu. Mereka membuat suatu hukum lengkap satu paket dari bangun tidur hingga tidur lagi dengan menginpretasikan Al-Quran dan Hadist sesuai dengan kemampuan dan kecerdasar sang Imam madhzab.

Para Imam madhzab juga sejatinya tau dan sangat membuka pandangan dengan ajaran-ajaran yang berbeda pandangan dengan dirinya. Karena pepmbentukan paket-paket hukum islam oleh Imam Madhzab itu sebenarnya ditujukan untuk murid-muridnya agar enggak bingung mau belajar agama dari mana, mau pakai cara yang seperti apa.

Di Indonesia sendiri, meskipun mayoritas bermadhzab syafii, namun para ulama membebaskan masyarakat untuk memilih madhzab yang mana, asalkan masih dalam koridor 4 imam madhzab sunni. Meskipun pada prakteknya, setiap organisasi berbeda pandangan tentang kebebasan bermadhzab ini.

Contoh 2 organisasi Islam terbesar di Indonseia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. NU itu mengakui 4 madhzab, namun kita harus memilih salah satu madhzab saja dalam berkehidupan. Sedangkan Muhammadiyah mengakui 4 imam madhzab. Namun dalam menentukan hukum, Muhammadiyah mengambil pendapat 4 madhzab, lalu diolah oleh ulama Muhammadiyah yang disebut majelis tarjih untuk dijadikan suatu hukum.

Dalam hal ini, saya menilai apa yang dilakukan Muhammadiyah lebih relevan dan revolusioner. Tanpa mengurangi rasa hormat, ulama madzhab itu hidup di jaman dan waktu yang sangat berbeda dengan kita. Ada hal-hal yang relevan bisa kita terapkan, namun ada pula yang nampaknya sudah "tidak cocok". Meski dalam hal ini Muhammadiyah masih membatasi fatwanya dengan dalil 4 madhzab ini.

Menurut saya, Al-Quran turun dengan bahasa yang global (tidak berfokus pada detail, namum pada makna) adalah karena agar dapat terus relevan dengan interpretasi pada setiap masa maupun pada setiap manusia. Seharusnya kita diberi kebebasan untuk "mengoprek" kitab suci kita sendiri lalu dapat menciptakan "madzhab sendiri". Enggak harus setiap orang mencari sendiri, kita bisa adaptasi dari kanan kiri, terus berkembang menalaah dan "mengoprek" kitab suci.

Kita enggak perlu takut akan terjadi perang dan gontok-gontokan masalah keyakinan madhzab. Kalau kita sudah beragama dengan benar yaitu memahami esensi dari beragama adalah cinta. Maka seharusnya aman-aman saja.

Kalau kita sudah tau bahwa agama seharusnya menyejukkan, kita mau berbeda pandangan tentang madhzab yah selaw wae. Kita tidak akan memaksa orang lain sesuai dengan pikiran kita.

Saya jadi teringat tentang sabda kanjeng nabi yang begini, “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun seseorang yang memperbaharui agamanya” (HR. Abu Daud).

Saya menilai nabi bilang begitu itu karena nabi yakin setiap masa itu harus ada pembaharuan, ada perubahan, ada update dalam beragama. Karena dengan itulah agama akan selalu relevan namun tetap tidak kehilangan spiritnya.