Bolehkah Mengeluh di Sosial Media?
![]() |
Liza Summer on Pexels |
Penulis: Susi Retno Utami
Editor: Fatio Nurul Efendi
Cangkeman.net - Sesekali cek status WhatsApp, isinya macam-macam. Ada yang posting lagi jalan-jalan, lagi rebahan, sekolah, masak, nyuci, dan segudang aktivitas lainnya. Enggak cuma di aplikasi chatting warna hijau ini aja, kita juga bisa tahu apa yang lagi dilakuin orang-orang secara maya lewat aplikasi sosial media yang lain. Mulai dari facebook yang mulai ditinggalkan kawula muda, sampai pada aplikasi Instagram yang digandrungi muda-mudi, TikTok yang membuat semua kalangan kecanduan, si Twitter tempat nge-post hal-hal random (dari yang jelas sampai ke yang enggak jelas blas!), pun aplikasi-aplikasi lain yang tentunya sebelas dua belas. Sama-sama bikin kita saling tahu, saling tuduh, saling overthingking, tidak lupa saling pamer dan merasa jadi seseorang yang 'paling-paling'.
Benar begitu? Ya kalau aku mengamati pergerakan postingan kawan-kawan di sosial media yang kuselami akhir-akhir ini ya begitu adanya, termasuk aku sendiri, suka merasa jadi si yang 'paling-paling'. Maklum, kebawa arus. Tapi kalau bisa mah jangan dimaklumi. Soalnya, kalau udah jadi kebiasaan malah jadinya buruk. Berselancar di sosmed itu baik, kalau sesuai kadar dan keperluannya. Tapi kalau kadarnya udah berlebihan, nantinya malah berpeluang jadi toxic. Niatnya ke sosmed mau cari hiburan, eh dapatnya malah info-info tidak sehat yang bikin isi kepala saling serang lalu tawuran.
Ya ya ya. Kalau udah ngebahas hal beginian, emang enggak akan ada habisnya. Dunia maya akan selalu melahirkan cerita yang sering bikin manusia geleng-geleng kepala di dunia nyata. Dan kali ini, aku mau ngajakin kalian buat bahas satu hal aja dari rumit dan pusingnya dunia maya.
Ok langsung gas aja. Masalah ngeluh di sosmed mah, aku juga beberapa kali ngelakuin hal itu. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini aku agak aneh dan bertanya dalam hati, "ini orang kenapa sih?", ketika lagi lihat keluhan orang lain di sosmed. Jangan berpikir kalau aku enggak ngaca sama diri sendiri. Aku udah bercermin kok. Dan justru karena udah bercermin, makanya aku merasakan keanehan atas status keluhan orang-orang yang bermunculan.
Jadi gini, aku itu kalau ngeluh di sosmed enggak pernah secara blak-blakan. Sambatku itu dalam bentuk permainan kata-kata yang kadang banyak kiasannya. Setiap postinganku bisa jadi akan dimaknai berbeda oleh setiap kepala. Dan itu tidak menjadi masalah buat aku. Selain itu, keluhanku kadang kala ya hanya kugambarkan dengan gambar-gambar kucing yang ketiduran. Kucing lagi jejogetan. Meme-meme lucu yang menyebalkan. Dan kiasan lain yang bahkan mungkin enggak akan dibaca, kalau tujuan aku posting adalah untuk mengeluh. Sekalipun bisa dibaca, orang lain enggak akan segamblang itu untuk tahu apa dan kenapa yang jadi sebab aku mengeluh.
Lantas bagaimana dengan status keluhan orang lain yang menjadi dasar dari lahirnya tulisan ini?
Baiklah, akan kumulai untuk menjelaskan. Berbeda dari keluhanku yang sering kubungkus dalam postingan super tidak jelas, aku justru kerap menemui postingan yang segamblang itu menjabarkan keluh kesah. Orang mengalami kesusahan wajar. Mengeluh pun, adalah kewajaran. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, kenapa mengeluh di sosmed dengan segamblang itu? Seperlu itukah untuk mengeluh lalu dipertontonkan kepada orang-orang?
Dalam hal ini, aku masih pemula. Dan aku tidak berniat menghakimi keluh kesah orang lain di sosmed. Tidak sama sekali. Aku hanya ingin mengulik kenapa sih hal itu bisa terjadi? Sekiranya apa yang mereka dapatkan setelah memposting keluhan secara gamblang? Dan apa iya, hal itu bisa selalu dibenarkan atas dasar setiap orang punya kebebasan dan tanggung jawabnya masing-masing dalam bersosial media?
Mari kita kuliti satu persatu. Berdasarkan pengamatan dan lalu lalang suara yang kudengarkan, ada beberapa hal yang bisa jadi merupakan alasan kenapa orang-orang hobi posting keluh kesah atau status mode galau di akun sosial media mereka.
Pertama, sebagai cara untuk menarik perhatian. Ini adalah alasan yang paling klasik, sekaligus alasan yang paling mungkin. Toh nyatanya, bukan hanya pamer kesenangan yang digunakan untuk menarik perhatian, tapi pamer susah pun justru kadang lebih banyak peminatnya. Bisa kita lihat, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang kecanduan untuk melihat konten kesedihan. Video orang teriak-teriak sedih pun, kadang ditonton sampai habis. Manfaat udah enggak penting lagi, yang penting rasa ingin tahu mereka terpuaskan. Dan itulah poin penting, yang akhirnya menjadi dorongan untuk orang-orang memposting kegalauan atau juga keluh kesah mereka.
Mereka pada awalnya bisa jadi tidaklah haus atensi. Tapi setelah mencoba sekali dua kali, lalu mendapat beragam reaksi dari para penonton postingannya, eh jadilah mereka merasa penting untuk terus menciptakan keluh kesah di sosial media. Atensi yang mereka peroleh telah menjelma makanan sehari-hari yang sulit untuk dilewatkan. Mau sedang senang atau sedih, pokoknya mah yang diposting yang galau-galau aja. Dalam hal ini bagiku, ada positif dan ada negatifnya.
Negatifnya, keseringan posting sesuatu yang enggak ada tujuan pentingnya selain daripada untuk memuaskan ego adalah sesuatu yang sangat percuma. Suatu aktivitas yang bisa membawa kita pada kenihilan manfaat dengan waktu yang terbuang sia-sia. Sementara positifnya adalah ketika kita memposting kegalauan dengan disertai pula oleh tujuan yang membawa manfaat bagi hal-hal krusial yang sedang kita jalani. Misal, kamu adalah seller yang menjajakan dagangan secara online. Setiap hari, kamu enggak pernah sekalipun enggak posting gambar dari daganganmu. Awal-awal sih, banyak yang lihat postinganmu. Tapi lama-lama, orang pasti cenderung bosen juga sama postinganmu yang isinya cuma jualan aja. Postinganmu bisa jadi akan sepi penonton, yang artinya peluang untuk daganganmu laku menjadi minim. Maka dari itu, memposting keluh kesah dan kegalauan adalah salah satu siasat yang bisa jadi tepat, agar usaha online-mu itu tetap lancar dan enggak sepi pelanggan.
Dalam kasus semacam ini, ya enggak apa-apa dibilang bikin sensasi. Toh ini untuk keberlangsungan bisnis yang tengah digeluti. Selama tidak merugikan ya aman-aman saja. Tetaplah pada koridor kewajaran yang semestinya.
Kedua, orang berkeluh kesah di sosial media secara gamblang, bisa jadi adalah karena dia kurang menerapkan yang namanya bersyukur. Dalam ranah ini, sesungguhnya hanyalah Tuhan yang bisa benar-benar menilai, mana manusia yang bersyukur, dan mana yang tidak. Namun, dengan kaca mata manusia biasa, aku pikir mengeluh itu memang bentuk dari kurang bersyukurnya manusia terhadap apa yang telah diberi Tuhan dalam hidupnya.
Ya, mengeluh itu manusiawi. Tapi jangan lupa untuk mensyukuri. Sebab yang namanya senang itu sementara, pun sedih dan susah tidak akan selamanya.
Misal, orang yang sering bikin status lagi capek sama pekerjaan yang sedang dijalani. Lah, terus apa kabar sama orang-orang yang masih nganggur dan nyari lowongan sana-sini?
Ada lagi nih, orang yang enggak ada capeknya buat posting kalau dia lelah banget sama status kejomloan yang masih disandang. Eh eh eh, coba deh lihat dulu sana berita-berita yang beredar, ada berapa banyak pasangan muda-mudi belum menikah malah kebablasan ke ranah yang enggak baik. Ada berapa banyak juga, ibu dan bapak muda yang akhirnya mengeluh karena menikah di usia yang terlalu dini?
Itu hanya segelintir contoh. Masih ada ragam keluhan yang menurutku justru membuat orang-orang jadi nampak kurang mensyukuri hidup.
Ketiga, sangat dimungkinkan, kalau orang-orang mudah dan senang membagikan keluh kesah di dunia maya adalah karena mereka tidak atau merasa belum menemukan ruang yang tepat untuk mengeluh di dunia nyata.
Makanya, sangat penting bagi kita untuk terus mempelajari segala hal di dalam hidup. Termasuk di dalamnya adalah belajar perihal kontrol diri, dan mempelajari perihal ke mana sebaiknya kita harus mengadu saat dihadapkan pada situasi yang sulit untuk kita pendam, atau juga sulit untuk kita hadapi sendiri. Memang susah untuk tidak lari ke sosial media, saat kita sudah tenggelam dalam kondisi yang kalut.
Entah apa saja masalahnya, sosial media adalah ruangan yang pintunya sangat dekat dan sangat mudah untuk kita jangkau di era modern ini. Tapi kita lupa, kalau itu adalah kiasan. Itu hanya tipu daya yang kita agungkan. Keluh kesah merajalela di sosial media. Lalu apa iya, selalu ada solusi yang kita temui dari postingan kegalauan?
Jawabannya, tidak. Ya, sesekali mungkin ada solusinya. Tapi sosial media itu juga buatan manusia. Isinya juga manusia yang enggak luput dari ketidaktepatan dalam berbicara. Jangan sampai awalnya kita merasa dapat solusi, eh di lain hari malah kita dibuat emosi. Maka, mau sampai kapan terus mengandalkan sosial media untuk menampung keluh kesah yang tak ada habisnya?
Apapun keputusan yang terambil, aku meyakini, jika kalian pasti punya pertimbangan tersendiri. Yang penting, kita sebaiknya selalu bertanggung jawab akan apa yang kita bagikan di sosial media. Sebab segala hal yang sudah telanjur kita posting, mau baik atau kurang baik, itu pasti akan ada dampaknya.
Sekian, dan karena kita adalah manusia biasa, maka tetaplah mengeluh pada tempat dan waktu yang sewajarnya.
Cangkeman.net - Sesekali cek status WhatsApp, isinya macam-macam. Ada yang posting lagi jalan-jalan, lagi rebahan, sekolah, masak, nyuci, dan segudang aktivitas lainnya. Enggak cuma di aplikasi chatting warna hijau ini aja, kita juga bisa tahu apa yang lagi dilakuin orang-orang secara maya lewat aplikasi sosial media yang lain. Mulai dari facebook yang mulai ditinggalkan kawula muda, sampai pada aplikasi Instagram yang digandrungi muda-mudi, TikTok yang membuat semua kalangan kecanduan, si Twitter tempat nge-post hal-hal random (dari yang jelas sampai ke yang enggak jelas blas!), pun aplikasi-aplikasi lain yang tentunya sebelas dua belas. Sama-sama bikin kita saling tahu, saling tuduh, saling overthingking, tidak lupa saling pamer dan merasa jadi seseorang yang 'paling-paling'.
Benar begitu? Ya kalau aku mengamati pergerakan postingan kawan-kawan di sosial media yang kuselami akhir-akhir ini ya begitu adanya, termasuk aku sendiri, suka merasa jadi si yang 'paling-paling'. Maklum, kebawa arus. Tapi kalau bisa mah jangan dimaklumi. Soalnya, kalau udah jadi kebiasaan malah jadinya buruk. Berselancar di sosmed itu baik, kalau sesuai kadar dan keperluannya. Tapi kalau kadarnya udah berlebihan, nantinya malah berpeluang jadi toxic. Niatnya ke sosmed mau cari hiburan, eh dapatnya malah info-info tidak sehat yang bikin isi kepala saling serang lalu tawuran.
Ya ya ya. Kalau udah ngebahas hal beginian, emang enggak akan ada habisnya. Dunia maya akan selalu melahirkan cerita yang sering bikin manusia geleng-geleng kepala di dunia nyata. Dan kali ini, aku mau ngajakin kalian buat bahas satu hal aja dari rumit dan pusingnya dunia maya.
Ok langsung gas aja. Masalah ngeluh di sosmed mah, aku juga beberapa kali ngelakuin hal itu. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini aku agak aneh dan bertanya dalam hati, "ini orang kenapa sih?", ketika lagi lihat keluhan orang lain di sosmed. Jangan berpikir kalau aku enggak ngaca sama diri sendiri. Aku udah bercermin kok. Dan justru karena udah bercermin, makanya aku merasakan keanehan atas status keluhan orang-orang yang bermunculan.
Jadi gini, aku itu kalau ngeluh di sosmed enggak pernah secara blak-blakan. Sambatku itu dalam bentuk permainan kata-kata yang kadang banyak kiasannya. Setiap postinganku bisa jadi akan dimaknai berbeda oleh setiap kepala. Dan itu tidak menjadi masalah buat aku. Selain itu, keluhanku kadang kala ya hanya kugambarkan dengan gambar-gambar kucing yang ketiduran. Kucing lagi jejogetan. Meme-meme lucu yang menyebalkan. Dan kiasan lain yang bahkan mungkin enggak akan dibaca, kalau tujuan aku posting adalah untuk mengeluh. Sekalipun bisa dibaca, orang lain enggak akan segamblang itu untuk tahu apa dan kenapa yang jadi sebab aku mengeluh.
Lantas bagaimana dengan status keluhan orang lain yang menjadi dasar dari lahirnya tulisan ini?
Baiklah, akan kumulai untuk menjelaskan. Berbeda dari keluhanku yang sering kubungkus dalam postingan super tidak jelas, aku justru kerap menemui postingan yang segamblang itu menjabarkan keluh kesah. Orang mengalami kesusahan wajar. Mengeluh pun, adalah kewajaran. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, kenapa mengeluh di sosmed dengan segamblang itu? Seperlu itukah untuk mengeluh lalu dipertontonkan kepada orang-orang?
Dalam hal ini, aku masih pemula. Dan aku tidak berniat menghakimi keluh kesah orang lain di sosmed. Tidak sama sekali. Aku hanya ingin mengulik kenapa sih hal itu bisa terjadi? Sekiranya apa yang mereka dapatkan setelah memposting keluhan secara gamblang? Dan apa iya, hal itu bisa selalu dibenarkan atas dasar setiap orang punya kebebasan dan tanggung jawabnya masing-masing dalam bersosial media?
Mari kita kuliti satu persatu. Berdasarkan pengamatan dan lalu lalang suara yang kudengarkan, ada beberapa hal yang bisa jadi merupakan alasan kenapa orang-orang hobi posting keluh kesah atau status mode galau di akun sosial media mereka.
Pertama, sebagai cara untuk menarik perhatian. Ini adalah alasan yang paling klasik, sekaligus alasan yang paling mungkin. Toh nyatanya, bukan hanya pamer kesenangan yang digunakan untuk menarik perhatian, tapi pamer susah pun justru kadang lebih banyak peminatnya. Bisa kita lihat, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang kecanduan untuk melihat konten kesedihan. Video orang teriak-teriak sedih pun, kadang ditonton sampai habis. Manfaat udah enggak penting lagi, yang penting rasa ingin tahu mereka terpuaskan. Dan itulah poin penting, yang akhirnya menjadi dorongan untuk orang-orang memposting kegalauan atau juga keluh kesah mereka.
Mereka pada awalnya bisa jadi tidaklah haus atensi. Tapi setelah mencoba sekali dua kali, lalu mendapat beragam reaksi dari para penonton postingannya, eh jadilah mereka merasa penting untuk terus menciptakan keluh kesah di sosial media. Atensi yang mereka peroleh telah menjelma makanan sehari-hari yang sulit untuk dilewatkan. Mau sedang senang atau sedih, pokoknya mah yang diposting yang galau-galau aja. Dalam hal ini bagiku, ada positif dan ada negatifnya.
Negatifnya, keseringan posting sesuatu yang enggak ada tujuan pentingnya selain daripada untuk memuaskan ego adalah sesuatu yang sangat percuma. Suatu aktivitas yang bisa membawa kita pada kenihilan manfaat dengan waktu yang terbuang sia-sia. Sementara positifnya adalah ketika kita memposting kegalauan dengan disertai pula oleh tujuan yang membawa manfaat bagi hal-hal krusial yang sedang kita jalani. Misal, kamu adalah seller yang menjajakan dagangan secara online. Setiap hari, kamu enggak pernah sekalipun enggak posting gambar dari daganganmu. Awal-awal sih, banyak yang lihat postinganmu. Tapi lama-lama, orang pasti cenderung bosen juga sama postinganmu yang isinya cuma jualan aja. Postinganmu bisa jadi akan sepi penonton, yang artinya peluang untuk daganganmu laku menjadi minim. Maka dari itu, memposting keluh kesah dan kegalauan adalah salah satu siasat yang bisa jadi tepat, agar usaha online-mu itu tetap lancar dan enggak sepi pelanggan.
Dalam kasus semacam ini, ya enggak apa-apa dibilang bikin sensasi. Toh ini untuk keberlangsungan bisnis yang tengah digeluti. Selama tidak merugikan ya aman-aman saja. Tetaplah pada koridor kewajaran yang semestinya.
Kedua, orang berkeluh kesah di sosial media secara gamblang, bisa jadi adalah karena dia kurang menerapkan yang namanya bersyukur. Dalam ranah ini, sesungguhnya hanyalah Tuhan yang bisa benar-benar menilai, mana manusia yang bersyukur, dan mana yang tidak. Namun, dengan kaca mata manusia biasa, aku pikir mengeluh itu memang bentuk dari kurang bersyukurnya manusia terhadap apa yang telah diberi Tuhan dalam hidupnya.
Ya, mengeluh itu manusiawi. Tapi jangan lupa untuk mensyukuri. Sebab yang namanya senang itu sementara, pun sedih dan susah tidak akan selamanya.
Misal, orang yang sering bikin status lagi capek sama pekerjaan yang sedang dijalani. Lah, terus apa kabar sama orang-orang yang masih nganggur dan nyari lowongan sana-sini?
Ada lagi nih, orang yang enggak ada capeknya buat posting kalau dia lelah banget sama status kejomloan yang masih disandang. Eh eh eh, coba deh lihat dulu sana berita-berita yang beredar, ada berapa banyak pasangan muda-mudi belum menikah malah kebablasan ke ranah yang enggak baik. Ada berapa banyak juga, ibu dan bapak muda yang akhirnya mengeluh karena menikah di usia yang terlalu dini?
Itu hanya segelintir contoh. Masih ada ragam keluhan yang menurutku justru membuat orang-orang jadi nampak kurang mensyukuri hidup.
Ketiga, sangat dimungkinkan, kalau orang-orang mudah dan senang membagikan keluh kesah di dunia maya adalah karena mereka tidak atau merasa belum menemukan ruang yang tepat untuk mengeluh di dunia nyata.
Makanya, sangat penting bagi kita untuk terus mempelajari segala hal di dalam hidup. Termasuk di dalamnya adalah belajar perihal kontrol diri, dan mempelajari perihal ke mana sebaiknya kita harus mengadu saat dihadapkan pada situasi yang sulit untuk kita pendam, atau juga sulit untuk kita hadapi sendiri. Memang susah untuk tidak lari ke sosial media, saat kita sudah tenggelam dalam kondisi yang kalut.
Entah apa saja masalahnya, sosial media adalah ruangan yang pintunya sangat dekat dan sangat mudah untuk kita jangkau di era modern ini. Tapi kita lupa, kalau itu adalah kiasan. Itu hanya tipu daya yang kita agungkan. Keluh kesah merajalela di sosial media. Lalu apa iya, selalu ada solusi yang kita temui dari postingan kegalauan?
Jawabannya, tidak. Ya, sesekali mungkin ada solusinya. Tapi sosial media itu juga buatan manusia. Isinya juga manusia yang enggak luput dari ketidaktepatan dalam berbicara. Jangan sampai awalnya kita merasa dapat solusi, eh di lain hari malah kita dibuat emosi. Maka, mau sampai kapan terus mengandalkan sosial media untuk menampung keluh kesah yang tak ada habisnya?
Apapun keputusan yang terambil, aku meyakini, jika kalian pasti punya pertimbangan tersendiri. Yang penting, kita sebaiknya selalu bertanggung jawab akan apa yang kita bagikan di sosial media. Sebab segala hal yang sudah telanjur kita posting, mau baik atau kurang baik, itu pasti akan ada dampaknya.
Sekian, dan karena kita adalah manusia biasa, maka tetaplah mengeluh pada tempat dan waktu yang sewajarnya.

Posting Komentar