7 Ragam Ritual Tolak Bala di Nusantara
Cangkeman.net - Wilayah Nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke dikenal kaya akan berbagai warisan budaya, baik berupa warisan benda (tangible) maupun warisan tak benda (intangible). Warisan budaya tersebut mencakup hampir semua sendi kehidupan kita, mulai yang bersifat ekonomis, sosial kemasyarakatan, seni, hingga spiritual.
Dalam hal spiritualitas, leluhur kita telah memiliki khazanah yang unik. Salah satu wujudnya adalah adanya aneka ragam ritual tolak bala. Secara harfiah, bala berarti musibah atau bencana. Jadi tolak bala mengandung makna (ritual) untuk menolak segala musibah dan bencana.
Ritual tolak bala sendiri ada yang dapat dilakukan secara personal, ada pula yang dilakukan secara komunal (berkelompok). Yang bersifat pribadi misalnya: nyengkalani, puasa weton, membuat dhiang, dan menembangkan kidung tolak bala. Sedangkan yang dilakukan secara berkelompok misalnya: kenduren, ruwatan massal, sedekah bumi, sedekah laut, suran, dll.
Pada awal-awal masa pandemi Covid-19 sekira 3 tahun yang lalu, banyak kalangan masyarakat yang merasa perlu untuk kembali kepada local wisdom Nusantara. Masyarakat di perkampungan mulai rutin menyalakan dhiang menjelang malam. Memasuki bulan sura, masyarakat (terutama di Jawa) melaksanakan ritual suran sebagai upaya untuk membendung bala berupa wabah corona.
Bentuk selamatan tolak bala tersebut bermacam-macam. Masing-masing daerah di Indonesia memiliki ragam budayanya sendiri. Ada beberapa yang memiliki kemiripan, ada pula yang berbeda sama sekali dari yang lain. Berikut ini 7 ragam di antaranya:
Ritual mantu kucing ini dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam ritual ini masyarakat menyelenggarakan pernikahan kucing yang biasanya dilakukan di sumber air kampung. Harapannya agar dijauhkan dari bencana kekeringan
Ritual Rebo Wekasan merupakan wujud sinkretisme yang unik di Nusantara. Adat ini berasal dari ajaran agama Islam yang mempercayai bahwa hari Rabu terakhir di bulan Sela merupakan hari baik untuk melangitkan doa dan harapan. Kepercayaan tersebut dikombinasikan dengan kebiasaan selamatan masyarakat lokal hingga memunculkan ritual ini.
Ritual ini dikenal oleh masyarakat yang tinggal di Sumatera, Jawa, hingga sebagian Nusa Tenggara. Acara selamatannya sendiri tidak jauh berbeda dengan Kenduri yang intinya adalah berdoa dan makan bersama. Yang membedakan adalah adanya lontong raksasa di setiap ritual Rebo Wekasan.
Pada puncak acara, seluruh warga akan berkumpul di sumber air untuk mendapatkan tirta suci yang telah didoakan oleh pemuka adat. Mekotek ini dilakukan dengan harapan agar seluruh warga dihindarkan dari bencana wabah penyakit.
Yang paling populer tentu saja ritual Suran yang dilakukan di Kraton Jogyakarta dan Surakarta. Ritual Suran di kedua kraton tersebut masih menjadi acuan pelaksanaan ritual di berbagai daerah. Ritual ini dilakukan dengan harapan agar seluruh wilayah beserta warganya terhindar dari segala bencana.
Itulah beberapa ritual tolak bala yang lazim dilakukan secara komunal di Indonesia. Lalu bagaimana jika ada sobat Cangkeman di kota besar yang sudah tidak familiar dengan ritual komunal? Jangan kuatir, Sampeyan bisa melakukan ritual personal dengan menembangkan pangkur tolak bala berikut ini:
Singgah-singgah kala singgah (menyingkirlah kala..)
Pan suminggah durgakala sumingkir (menyingkirlah segala macam wabah)
Sing asirah sing asuku (wabah yang tak berkepala tak berkaki)
Sing datan kasat mata (wabah yang tak tampak oleh mata)
Sing atenggak sing awulu sing abahu (wabah yang tak berleher tak berbulu tak berpundak)
Kabeh padha sumingkira (semuanya menyingkirlah)
Ing telenging jalanidhi (menyingkir ke tengah samudra)
Catatan: Materi ini pernah disampaikan dalam kegiatan Nguri-uri Budhaya Nusantara di SD Mafaza Integrated Smart School Malang pada 25 Agustus 2021.

Posting Komentar